Popular Post

Popular Posts

Translate

Diberdayakan oleh Blogger.
Posted by : Agiel'chester Sabtu, 15 September 2012

Secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang hadis Kata 'uliim adalah bentuk jamak dari kata 'ilm (ilmu) Dalam hubungannya dengan pengetahuan tentang hadis, ada ulama yang menggunakan bentuk 'ulum al-1:hadis, seperti IbnuSalah (ahli hadis; w. 642 H/1246 M) dalam kitabnya 'Ulum al-hadis, dan ada juga yang menggunakan bentuk 'ilm al-hadis, seperti Jalaluddin as-*Suyuti dalam mukadimah kitab hadisnya T adrio ar -Rawiy. Penggunaan bentuk jamak disebabkan ilmu tersebut bersangkut-paut dengan hadis Nabi SAW yang banyak macam dan cabangnya. Hakim an-Naisaburi (321 H/933 M-405 H/1014M), misalnya,dalam kitabnya Ma'rifah 'Ulum al-hadis mengemukakan 52 macam ilmu hadis. Muhammad bin Nasir al-Hazimi, ahli hadis klasik, mengatakan bahwa juimlah ilmu hadis mencapai lebih dari 100 macam yang masing-masing mempunyai objek kajian khusus sehingga bisa dianggap sebagai suatu ilmu tersendiri. *Hasbi ash-Shiddieqy, tokoh hadis Indonesia, mengatakan bahwa ilmu hadis adalah ilmu yang berpautan dengan hadis Nabi SAW. Pemyataannya ini selain bertolak dari makna lugawi- (bahasa) juga mengisyaratkan bahwa ilmu-ilmu yang bersangkut- paut dengan hadis Nabi SAW itu banyak macam dan cabangnya. Kajian llmu Hadis. Secara garis besar ulama hadis mengelompokkan ilmu-ilmu yang bersangkut-paut dengan hadis Nabi SAW tersebut ke dalam dua bidang pokok, yakni ilmu hadis riwayah ( 'ilm al-QadIs riwayah) dan ilmu hadis dirayah ( 'ilm al-QadIs dirayah). Ilmu Hadis Riwayah. Ilmu yang mempelajari cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadis Nabi SAW. Objek kajiannya ialah hadis Nabi SAW dari segi periwayatan dan pemeliharaannya yang meliputi: 1) cara periwayatannya, yakni bagaimana cara penerimaan dan penyampaian hadis dari seorang periwayat (rawi) kepada periwayat lain; 2) cara pemeliharaan, yakni penghafalan, penulisan, dan pembukuan hadis. Ilmu ini tidak mem-bicarakan kualitas sanad, sifat rawi, dan cacat yang terdapat pada matan dan lainnya. Ilmu hadis riwayah bertujuan untuk memelihara hadis Nabi SAW dari kesalahan dalam proses periwayatan atau dalam hal penulisan dan pembukuannya. Lebih lanjut ilmu ini juga bertujuan agar umat Islam menjadikan Nabi SAW sebagai suri teladan melalui pemahaman terhadap riwayat yang berasal darinya dan mengamalkannya. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-Ahzab (33) ayat 21 yang artinya: "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu " Ulama yang terkenal dan dipandang sebagai pelopor ilmu hadis riwayah adalah Abu Bakar Muhammad bin Syihab az-Zuhri (51-124 H), seorang imam dan ulama besar di Hedzjaz (Hijaz) dan Syam (Suriah). Dalam sejarah perkembangan hadis, az-Zuhri tercatat sebagai ulama pertama yang menghimpun hadis Nabi SAW atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz atau Khalifah Umar II (memerintah 99 H/717 M-102 H /720 M). Meskipun demikian, ilmu hadis riwayah ini sudah ada sejak periode Rasulunah SAW sendiri, bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadis itu sendiri. Sebagaimana diketahui, para sahabat menaruh perhatian yang tinggi terhadap hadis Nabi SAW. Mereka berupaya mendapatkannya dengan menghadiri majelis Rasulullah SAW serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan Nabi SAW. Mereka juga memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan Rasulullah SAW, baik dalam beribadah maupun dalam aktivitas sosial, dan akhlak Nabi SAW sehari-hari. Semua itu mereka pahami denQan baik dan mereka pelihara melalui hafalan mereka. Selanjutnya mereka menyampaikannya dengan sangat hati-hati kepada sahabat lain atau *tabiin. Para tabiin pun melakukan hal yang sama, memahami hadis, memeliharanya, dan menyampaikannya kepadatabiin lain atau tabi' at- tabi'In (generasi sesudah tabiin). Demikianlah periwayatan dan pemeliharaan hadis Nabi SAW berlangsung hingga usaha penghimpunan yang dipelopori oleh az-Zuhri. Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan hadis secara besar-besaran dilakukan oleh ulama hadis pada abad ke-3 H, seperti Imam al-*Bukhari, Imam *Muslim, Imam *Abu Dawud, Imam at-*Tirmizi, dan ulama- ulama hadis lainnya melalui kitab hadis masing-masing. Dengan dibukukannya hadis Nabi SAW dan selanjutnya dijadikan rujukan oleh ulama yang datang kemudian, maka pada periode selanjutnya ilmu hadis riwayah tidak lagi banyak berkembang. Berbeda halnya dengan ilmu hadis dirayah yang senantiasa berkembang dan melahirkan berbagai cabang ilmu hadis. Oleh karena itu, pada umumnya yang dibicarakan oleh ulama hadis dalam kitab-kitab ulumul hadis yang mereka susun adalah ilmu hadis dirayah. Dalam perkembangannya, istilah ulumul hadis menjadi sinonim bagi ilmu hadis dirayah. Selain itu, ilmu hadis dirayah disebut juga musta1ahuh al-hadis (ilmu peristilahan hadis) atau 'ilm usul al-hadis (ilmu dasar hadis). Ilmu Hadis Djrayah. Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadis, sifat rawi, dan lain-lain. Sasaran kajian ilmu hadis dirayah adalah sanad dan matan dengan segala persoalan yang terkandung di dalamnya yang turut mempengaruhi kualitas hadis tersebut. Kajian terhadap masalah-masalah yang bersangkutan dengan sanad disebut naqd as-sanad (kritik sanad) atau kritik ekstem. Disebut demikian karena yang dibahas ilmu itu adalah akurasi (kebenaran) jalur periwayatan, mulai dari sahabat sampai kepada periwayat terakhir yang menulis dan membukukan hadis tersebut. Pokok bahasan naqd as-sanad adalah sebagai berikut. ( 1) Ittisal as-sanad (persambungan sanad). Dalam hal ini tidak dibenarkan adanya rangkaian sanad yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya ( wahm) atau samar . (2) Siqah as-sanad, yakni sifat 'adl (adil), dabit (cermat dan kuat), dan siqah (terpercaya) yang harus dimiliki seorang periwayat. (3) S.yaii, yakni kejanggalan yang terdapat atau bersumber dari sanad. Misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang siqah tetapi menyendiri dan bertentangan dengan hadis yang diriwavatkan oleh periwayat-periwayat siqah lainnva. (4) 'Illah, yakni cacat yang tersembunyi pada suatu hadis yang kelihatannya baik atau sempurna. Syazz dan 'illah adakalanya terdapat juga pada matan dan untuk menelitinya diperlukan penguasaan ilmu hadis yang mendalam. Kajian terhadap masalah-masalah yang menyangkut matan disebut naqd al-matn (kritik matan) atau kritik intern. Disebut demikian karena yang dibahasnya adalah materi hadis itu sendiri, yakni perkataan, perbuatan atau ketetapan Rasulullah SAW. Pokok pembahasannyameliputi: (1)rakakah al-lafz yakni kejanggalan-kejanggalan dari segi redaksi (2) fasad aJ-ma 'na, yakni terdapat cacat atau kejanggalan pada makna hadis karena bertentangan dengan al-hiss (indera) dan akal, bertentangan dengan nas Al-Qur' an, dan bertentangan dengan fakta sejarah yang terjadi pada masa Nabi SAW serta mencerminkan fanatisme golongan yang berlebihan (3) kata-kata garib (asing), yakni kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal. Tujuan dan faedah ilmu hadis dirayah adalah untuk mengetahui dan menetapkan maqbul(diterima) dan mardad (ditolak)-nya suatu hadis. Dalam perkembangannya, hadis Nabi SAW telah dikacaukan dengan munculnya hadis-hadis palsu yang tidak saja dilakukan oleh musuh-musuh Islam, tetapi juga oleh umat Islam sendiri dengan motif kepentingan pribadi, kelompok atau golongan. Oleh karena itu, ilmu hadis dirayah ini mempunyai arti penting dalam usaha pemeliharaan hadis Nabi SAW. Dengan ilmu hadis dirayah dapat diteliti hadis mana yang dapat dipercaya berasal dari Rasulullah SAW, sahih, daif, dan palsu. Secara praktis, ilmu hadis dirayah juga sudah ada sejak periode awal Islam atau sejak periode Rasuullah SAW, paling tidak dalam arti dasar-dasarnya. Ilmu ini muncul bersamaan dengan mulainya periwayatan hadis yang disertai dengan tingginya perhatian dan selektivitas sahabat dalam menerima riwayat yang sampai kepada mereka. Berawal dengan cara yang sangat sederhana, ilmu ini berkembang sedemikian rupa seiring dengan berkembangnya masalah yang dihadapi. Pada akhirnya ilmu ini melahirkan berbagai cabang ilmu dengan metodologi pembahasan yang cukup rumit. Pada periode Rasulullah SAW, kritik atau penelitian terhadap suatu riwayat (hadis) yang menjadi cikal baka1 ilmu hadis dirayah dilakukan dengan cara yang sederhana sekali. Apabila seorang sahabat ragu-ragu menerima suatu riwayat dari sahabat lainnya, maka ia segera menemui Rasulullah SAW atau sahabat lain yang dapat dipercaya untuk mengkonfirmasikannya. Setelah itu, barulah ia menerima dan mengamalkan hadis tersebut. Pada periode sahabat, penelitian hadis yang menyangkut sanad maupun matan hadis semakin menampakkan wujudnya. Abu Bakar as-Siddiq (573-634; khalifah pertama dari al-Khulafa' ar- Rasyidun [Empat Khalifah Besar]), misalnya, tidak mau menerima suatu hadis yang disampaikan oleh seseorang kecuali yang bersangkutan mampu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikannya. Demikian pula yang dilakukan oleh Umar bin al-Khattab (581-644; khalifah kedua dari al-Khulafa ' ar-Rasyidun) . Bahkan Umar mengancam akan memberi sanksi terhadap siapa saja yang meriwayatkan hadis jika tidak mendatangkan saksi. Ali bin Abi Talib (603-661; khalifah terakhir dari al-Khulafa' ar-RasyjdQn) menetapkan persyaratan tersendiri. la tidak mau menerima suatu hadis yang disampaikan oleh seseorang kecuali yang menyampaikannya bersedia diambil sumpah atas kebenaran riwayat tersebut. Meskipun demikian, ia tidak menuntut persyaratan tersebut terhadap sahabat-sahabat yang paling dipercaya kejujuran dan kebenarannya, seperti Abu Bakar as-Siddiq. Semua yang dilakukan mereka bertujuan untuk memelihara kemumian hadis-hadis Rasulullah SAW. Di antara sahabat yang terkenal selektif dan tak segan-segan membicarakan kepribadian sahabat lain dalam kedudukannya sebagai periwayat hadis adalah Anas bin Malik (w. 95 H), Abdullah bin Abbas (*Ibnu Abbas), dan Ubadah bin as-Samit. Prinsip dasar penelitian sanad yang terkandung dalam kebijaksanaan yang dicontohkan oleh para sahabat diikuti dan dikembangkan pula oleh para tabiin. Di antara tokoh tabiin yang terkenal dalam bidang ini adalah Sa'id bin Musayyab (15-94 H), al-Hasan al-Basri (21-110 H), Amir bin Syurahbil asy-Sya'bi (17-104 H), dan Muhammad bin Sirin (w.110H). Kritik matan juga tampak jelas pada periode sahabat. * Aisyah binti Abu Bakar RA, misalnya, pemah mengkritik hadis dari Abu Hurairah (w. 57 H) dengan matan berbunyi: " Innal-mayyita yu 'azzabu bi buka 'i ahlihi 'alaihi" (sesungguhnya mayat diazab disebabkan ratapan keluarganya) .Aisyah mengatakan bahwa periwayat telah bersalah dalam menyampaikan hadis tersebut sambil menjelaskan matan yang sesungguhnya. Suatu ketika Rasulullah SAW lewat pada suatu kuburan orang Yahudi dan beliau melihat keluarga si mayat sedang meratap di atasnya. Melihat hal tersebut Rasulullah SAW bersabda: " Innahum yabkQna 'alaiha wa innaha latu 'aiiabu fi qabriha " (mereka sedang meratapi si mayat, sementara si mayat sendiri sedang diazab dalam kuburnya). Lebih lanjut Aisyah berkata cukuplah Al-Qur'an bukti ketidakbenaran matan hadis yang datang dari Abu Hurairah karena maknanya bertentangan dengan AI-Qur'an." la mengutip surah al-An'am (6) ayat 164yang artinya: "...dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain ..." Sejumlah sahabat lainnya juga melakukan hal yang sama, seperti Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Talib, Abdullah bin Mas'ud (*Ibnu Mas'ud), dan Abdullah bin Abbas. Pada periode tabiin, penelitian dan kritik matan semakin berkembang seiring dengan berkembangnya masalah-masalah matan yang mereka hadapi. Demikian pula di kalangan ulama- ulama hadis selanjutnya. Pada penghujung abad ke-2 H barulah penelitian/ kritik hadis mengambil bentuk sebagai ilmu hadis teoretis di samping bentuk praktis seperti dijelaskan di atas. Imam asy-*Syafi'i adalah ulama pertama yang mewariskan teori-teori ilmu hadisnya secara tertulis sebagaimana terdapat dalam karya monumentalnya ar-Risalah (kitab usul fikih) dan al- Umm (kitab fikih). Hanya saja teori ilmu hadisnya tersebut tidak terhimpun dalam satu kitab khusus melainkan tersebar dalam pembahasan-pembahasannya dalam dua kitab tersebut. Ulama pertama yang membukukan ilmu hadis dirayah adalah Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi (265-360 H) dalam kitabnya, al-Muhaddis al-Fasil bain ar-Rawi wa al- wa 'iz (Ahli Hadis yang Memisahkan Antara Rawi dan Pemberi Nasihat). Sebagai pemula, kitab ini belum membahas masalah-masalah ilmu hadis secara lengkap. Kemudian muncul al-Hakim an-Naisaburi (w. 405 H/1014 M) dengan sebuah kitab yang lebih sistematis, Ma'rifah 'U1um al-Hadis (Makrifat Ilmu Hadis). Meskipun demikian, kitab ini masih memiliki kekurangan. Kemudian Abu Nu'aim al-lsfahani (w. 430 H/1038 M), muhaddis (ahli hadis) dari Astalun (Persia), berusaha melengkapi kekurangan tersebut melalui kitabnya, al-Mustakhraj 'Ala al-hakim. Setelah itu muncul Abu Bakr Ahmad al-Khatib al-Bagdadi (392 H/1002 M-463 H/1071 M) yang menulis dua kitab ilmu hadis, yakni al-Kifayah fI 'Ilm ar-Riwayah dan al-Jami' li Adab ar-Rawi wa as- Sami'. Selain itu, al-Bagdadi juga menulis sejumlah kitab dalam berbagai cabang ilmu hadis. Menurut al-Hafiz Abu Bakar bin Nuqtah, ulama hadis kontemporer dari Mesir, ulama yang menulis ilmu hadis setelah al-Bagdadi pada dasamya berutang budi kepada karya-karya yang ditinggalkannya. Kitab-kitab ulumul hadis yang terkenal pada periode berikutnya antara lain 'U1Qm al-lfadIs karya AbuAmar Usman bjn Salah atau Ibnu Salah (ahli hadis; w. 642 H/1246 M). Kitab ini mendapat perhatian banyak ulama sehingga banyak pula yang menulis svarah (ulasan)-nya. Misalnya, *Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya al-lfsah bi Takmi1 an- Nakt 'ala Ibn Sallah, Imam an-*Nawawi dalam kitabnya al-Irsyad dan at- Taqrib, dan Ibnu Kasir (700 H/1300 M-774 H/1373 M) dalam kitabnya lkhtisar 'Ulum al-hadis. Kitab lainnya yang cukup terkenal di antaranya ialah Tadrib ar-Rawi oleh Jalaluddin as-*Suyuti, taudih al-Afkar oleh Muhammad bin Isma'il al-Kahlani as-San'ani (1099 H/1688 M-1182 H/1772 M) dan Qawa 'id at- Tahdis karya Muhammad Jamaluddin bin Muhammad bin Sa'id bin Qasim al-Qasimi (1283-1332 H). Di samping kitab ulumul hadis yang bersifat umum, dalam perkembangan selanjutnya muncul pula kitab ulumul hadis yang bersifat khusus, yakni kitab yang membahas satu cabang ilmu hadis tertentu dengan pembahasan yang lebih luas dan mendalam. Ilmu hadis dirayah memiliki cabang-cabang yang berkaitan dengan sanad, rawi, dan matan hadis. Cabang-cabang yang berkaitan dengan sanad dan rawi yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut : 1) 'Ilm rijal al-hadis, yakni ilmu yang mengkaji keadaan para rawi hadis dan perikehidupan mereka, baik dari kalangan sahabat, tabiin maupun tabi' at- tabi'fn, dan generasi sesudahnya. Bagian dari 'ilm rijal al-hadis ini adalah 'ilm tarikh rijal al-hadis Ilmu ini secara khusus membahas perihal para rawi hadis dengan penekanan pada aspek-aspek tanggal kelahiran, nasab atau garis keturunan, guru sumber hadis, jumlah hadis yang diriwayatkan, dan murid-muridnya. Di antara kitab-kitab terkenal dalam cabang ilmu hadis ini ialah al-Isti'ab fi Ma'rifah al- Ashab karya Ibnu Abdul Bar (w. 463 H), al-Isab fi Tamyiz as-Sahab dan Tahzib at- Tahzib karya Ibnu Hajar al-Asqalani, serta Tahzib al-Kamal karya Abul Hajjaj Yusufbin az-Zakki al-Mizzi (w. 742 H). 2) 'Ilm al-jarh wa at-ta'dil, yakni ilmu yang membahas hal ihwal rawi dengan menyoroti kesalehan dan kejelekannya, sehingga dengan demikian periwayatannya dapat diterima atau ditolak. Muhammad Ajaj al-Khatib, ahli hadis kontemporer dari Suriah, mengelompokkan sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat tercela para periwayat masing-masing ke dalam enam tingkatan dan setiap tingkatan dilambangkan dengan istilah-istilah tertentu. Untuk sifat-sifat terpuji digunakan istilah ausaq an-nas (orang yang paling dipercaya, baik kepribadian maupun hafalannya), la yus'al 'anh (tidak perlu dipertanyakan lagi), siqah-siqah (tepercaya kuat), sabat (kokoh), la ba'sa bih (tidak masalah) dan laisa bi ba'id min as- sawwab (tidak jauh dari kebenaran). Untuk sifat-sifat tercela digunakan istilah akzab an-nas (manusia paling pendusta), muttaham kazib (suka berdusta), muttaham bl al-kai[b (dituduh berdusta). la yuktab hadisuh (tidak perlu ditulis hadisnya), la yuhtajj bih (tidak dapat dijadikan hujah), dan fIhi maqal (dipertanyakan). Untuk periwayat yang memiliki sifat terpuji hadisnya dapat diterima dengan peringkat kehujahan sesuai dengan peringkat sifat terpuji yang dimilikinya. Sebaliknya, periwayat yang memiliki sifat tercela hadisnya ditolak dengan peringkat penolakan sesuai dengan peringkat sifat jelek yang dimilikinya. Kitab-kitab terkenal dalam cabang ilmu hadis ini antara lain al-Jarh wa at- Ta dill karya Ibnu Abi Hatim ar-Razi (w. 328 H) dan al-Jar~ wa at-Ta'di1 karya Muhammad Jamaluddin bin Muhammad bin Sa 'id bin Qasim al-Qasimi. 3) 'Ilm 'ilal al-hadis, yakni ilmu yang membahas perihal cacat tersembunyi yang mungkin terdapat dalam suatu hadis yang keberadaannya dapat menjatuhkan nilai hadis yang secara lahir tampak sahih. Misalnya, hadis yang tampak muttasil (hadis yang sanadnya menyambung sampai kepada Nabi SAW atau sahabat) setelah diteliti lebih jauh temyata munqati' (hadis yang salah seorang periwayatnya gugur tidak pada sahabat, tetapi bisa terjadi pada periwayat yang di tengah atau di akhir) .Untuk dapat mempelajari cacat tersembunyi ini diperlukan penguasaan ilmu 'ilm 'ilal al-hadis secara mendalam karena masalah yang menjadi objek kajiannya lebih rumit. Kitab-kitab terkenal di cabang ini di antaranya '1lal al-Hadis oleh Ibnu Abi Hatim ar-Razi, al- 'I1al oleh Imam at-*Tirmizi, dan al- 'I1al al-Mutananiyah fI al-Ahadis al-Wahiyah oleh Ibnu al-Jauzi (510-97 H). 4) 'I1m garib al-hadis, yakni ilmu yang membahas masalah kata atau lafal yang terdapat pada matan hadis yang sulit dipahami, baik karena kata atau lafal tersebut jarang sekali dipakai, nilai sastranya yang tinggi, maupun karena sebab yang lain. 'I1m garib al-hadis ini mempunyai arti penting dalam memahami maksud hadis dengan baik dan tepat karena sering kali suatu lafal tidak dapat dipahami sesuai dengan maknanya yang umum dikenal (makna lahiriah) sehingga harus dipahami dengan makna tersendiri agar maksud yang dituju oleh hadis tersebut dapat diungkap dengan baik dan tepat. Ilmu inilah yang mengantarkan seseorang untuk dapat menemukan makna yang tepat tersebut. Ulama perintis di bidang ini adalah Abu Ubaidah Ma'mar bin Mussana at- Taimi (w. 210 H) dan kemudian Abu al-Hasan an-Nadr bin Syunail al-Mazini (w. 203 H). Keduanya telah menulis kitab tentang garib al-hadis. Namun, Muhammad Adib Salih (ahli hadis kontemporer dari Suriah) mengatakan bahwa kitab tersebut merupakan kitab kecil dan banyak masalah yang belum terdapat di dalamnya. Kitab yang terkenal ialah al-Fa' iq fiGarib al-hadis karya Abu Kasim Mahmud bin Umar az-*Zamakhsyari dan an-Nihayah ff Gario al-ljadls karya Majduddin Abu as-Sa 'adah al-Mubarak bin Muhammad yang terkenal dengan nama Ibnu Asir (544-606H). 5) 'IIm asbab al-wurud al-hadis, yakni ilmu yang membahas sebab atau hal-hal yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis. Sebab atau hal tersebut adakalanya berupa pertanyaan yang dilontarkan oleh sahabat, lalu Rasulullah SAW memberikan jawabannya, dan adakalanya berupa peristiwa yang disaksikan atau dialami sendiri oleh Rasulullah SAW bersama sahabatnya, kemudian beliau menjelaskan hukumnya. Hadis-hadis yang mempunyai * asbab al- wurud ini harus dipahami sesuai dengan keter- ikatannya dengan sebab atau hal-hal yang melatarbelakangi munculnya hadis tersebut. Ilmu ini bertujuan mengantarkan seseorang untuk dapat memahami hadis sesuai konteksnya. Ulama yang dipandang sebagai perintis dalam bidang ilmu ini adalah Abu Hafs Umar bin Muhammad bin Raja al-Ukbari (380-458 H), dan kitab yang terkenal dalam bidang ini ialah al-Bayan wa at- Ta 'rif fi Asbab Wurud al-hadis asy-Syarlf karya Syarib lbrahim Muhammad bin Kamaluddin al-Husaini al-Hanafi ad-Dimasyqi yang lebih terkenal dengan nama Ibnu Hamzah ( 1054 -1112 H). 6) 'IIm mukhtalif al-hadis, yakni ilmu yang mem- bahas hadis-hadis yang secara lahir tampak saling bertentangan. Ilmu ini mempunyai arti penting dalam mengantarkan seseorang untuk dapat menyelami makna filosofis suatu hadis, karena pada tingkat makna filosofis tidak mungkin hadis-hadis Rasulullah SAW benar-benar bertentangan satu sama lain. Apabila tampak bertentangan, maka pertentangan itu hanyalah pada makna lahiriahnya, bukan pada maksud sesungguhnya yang dituju. Ulama perintis di bidang ini ialah Imam asy-Syafi 'i dengan karyanya Mukhtalif al-hadis. Kemudian muncul pula Abu Muhammad Abdullah bin Muslim ad-Dinawari bin Qutaibah atau Ibnu Qutaibah (213 H/828 M-276 H/889 M) dengan kitabnya Ta'wi1 Mukhtalif al-Hadis dan Abu Ja'far Ahmad bin Muhammad at- Tahawi (239-321 H) dengan kitabnya Musykil al-ljadls. 7) 'IIm nasikh wa mansukh al-hadis, yakni ilmu yang membahas penyelesaian hadis-hadis yang ber - tentangan dan tidak dapat dikompromikan. Ilmu ini mempelajari sejarah munculnya hadis-hadis yang bertentangan tersebut untuk mengetahui mana di antaranya yang lebih dahulu muncul dan yang kemudian. Penyelesaian dilakukan dengan kaidah an-nasikh, yaitu hadis yang datang kemudian membatalkan ha- dis yang datang lebih dahulu. Selanjutnya, hadis yang membatalkan dijadikan hujah dan diamalkan,sedangkan hadis yang dibatalkan/dihapus ditinggalkan. Kitab-kitab terkenal di bidang ini antara lain NasiKh al-hadis wa Mansukhih karya Abu Hafs Umar bin Ahmad bin Usman yang terkenal dengan nama Ibnu Syahin (297-385 H) dan al-I'tibar fi an-NasiKh wa al-Mansukh min al-Asar karya Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi (547-584 H). 8) 'I1m takhrij al-Qadis, yakni ilmu yang membahas kualitas hadis. Ilmu ini membicarakan cara yang harus ditempuh dalam mencari dan menemukan hadis di dalam kitab-kitab sumber asli yang memuatnya serta menerangkan kualitas sanad yang mendukung periwayatan hadis tersebut. Yang dimaksud dengan kitab hadis sumber asli adalah kitab hadis yang ditulis langsung oleh periwayat dengan memaparkan jalur sanadnya secara utuh, seperti al-kutub as-sittah (kitab hadis yang enam, yaitu sahih al-Bukhari -sahih -mus lim, Sunan Abi Dawud, sunan at- Tarmizi Sunan an- Nasa'i dan Sunan Ibn Majah), al-Muwatta' oleh Imam *Malik, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, dan Sunan ad-Darimi 'I1m takhrij al-Hadis bertujuan mengantarkan seseorang untuk menelusuri kualitas sanad hadis dengan meneliti nama-nama periwayat yang terdapat dalam jalur sanadnya. Kitab-kitab penting di bidang ini di antaranya Turuq Takhrij hadis Rasulillah karya Abu Muhammad Abdul Hadi (ahli hadis kontemporer dari Mesir) dan Usul at- Takhrij wa at- Takhrij wa Dirasah al-Asanid karya Mahmud at- Tahhan (ahli hadis kontemporer dari Mesir).

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2013 Ginks 70 blog - - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -