- Home >
- TARIKH TASYRI’, MAKNA SYARI’AH DAN TASYRI’
Posted by : Agiel'chester
Selasa, 11 September 2012
PENGANTAR
TARIKH TASYRI’
Kemudian Kami
jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan (agama itu), maka
ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tidak mengetahui. (Al-Jatsiyah: 18)
PENGERTIAN TARIKH TASYRI’, MAKNA
SYARI’AH DAN TASYRI’
Tarikh artinya catatan tentang perhitungan tanggal,
hari, bulan dan tahun. Lebih populer dan sederhana diartikan sebagai
sejarah atau riwayat. Sedangkan syariah adalah peraturan atau
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan (diwahyukan) oleh Allah kepada Nabi
Muhammad saw untuk manusia yang mencakup tiga bidang, yaitu keyakinan
(aturan-aturan yang berkaitan dengan aqidah), perbuatan
(ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan tindakan hukum seseorang) dan
akhlak (tentang nilai baik dan buruk).
Sedangkan tasyri’ berarti penetapan atau
pemberlakuan syariat yang berlangsung sejak diutusnya Rasulullah saw dan
berakhir hingga wafat beliau. Namun para ulama kemudian memperluas
pembahasan tarikh (sejarah) tasyri’ sehingga mencakup pula perkembangan
fiqh Islami dan proses kodifikasinya serta ijtihad-ijtihad para ulama
sepanjang sejarah umat Islam. Oleh karena itu pembahasan tarikh tasyri’
dimulai sejak pertama kali wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad saw
hingga masa kini. Tasyri' juga bermakna legislation,
enactment of law, artinya penetapan undang-undang dalam agama
Islam. Kata Syariat secara bahasa berarti al-utbah (lekuk
liku lembah), dan maurid al- ma'i (sumber air) yang jernih untuk
diminum. Lalu kata ini digunakan untuk mengungkapkan al-thariqah al-mustaqimah
(jalan yang lurus). Sumber air adalah tempat kehidupan dan keselamatan
jiwa, begitu pula dengan jalan yang lurus yang menunjuki manusia kepada
kebaikan, di dalamnya terdapat kehidupan dan kebebasan dari dahaga jiwa
dan akal. Sebagaiman firman Allah SWT dalam surat al-Jatsiah ayat 18 di atas. Juga
firman Allah SWT dalam surat
al-Syura ayat 13. Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama
apa yang Telah diwasiatkan- Nya kepada Nuh. Dan firman Allah SWT
dalam surat
al-Maidah ayat 48. ….untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami
berikan aturan dan jalan yang terang…. Syari'ah adalah "law
statute" artinya hukum yang telah ditetapkan dalam agama Islam.
Syariat menurut fuqaha’ berarti hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT
melalui Rasul untuk hamba-Nya agar mereka mentaati hukum ini atas dasar
iman, baik yang berkaitan dengan aqidah, amaliah atau disebut ibadah dan
muamalah atau yang berkaitan dengan akhlak. Menurut Muhammad Ali
al-Tahanuwi, syariat adalah hukum-hukum Allah yang ditetapkan
untuk hamba-Nya yang disampaikan melalui para Nabi atau Rasul, baik
hukum yang berhubungan dengan amaliah atau aqidah. Syariat disebut juga din
(agama) dan millah. Syari’ah Islamiyah didefinisikan
dengan “apa yang telah ditetapkan Allah Taala untuk hamba-hamba-Nya
berupa aqidah, ibadah, akhlaq, muamalat, dan sistem kehidupan yang
mengatur hubungan mereka dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama makhluk
agar terwujud kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tarikh al-tasyri' menurut Muhammad
Ali al-sayis adalah : "Ilmu yang membahas keadaan hukum Islam
pada masa kerasulan (Rasulullah SAW masih hidup) dan sesudahnya dengan
periodisasi munculnya hukum serta hal-hal yang berkaitan dengannya,
(membahas) ciri-ciri spesifikasi keadaan fuqaha’ dan mujtahid
dalam merumuskan hukum-hukum tersebut”.
Menurut Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, tasyri'
adalah pembentukan dan penetapan perundang-undangan yang mengatur hukum
perbuatan orang mukallaf dan hal-hal yang terjadi tentang berbagai
keputusan serta peristiwa yang terjadi dikalangan mereka. Jika
pembentukan undang-undang ini sumbernya dari Allah dengan perantaraan
Rasul dan kitab-kitabnya, maka hal itu dinamakan perundang-undangan
Allah (at-Tasyri'ul Ilahiyah). Sedangkan jika sumbernya datang
dari manusia baik secara individual maupun kolektif, maka hal itu
dinamakan perundang-undangan buatan manusia (at-Tasyri'ul Wadh'iyah).
Secara sederhana Tarikh Tasyri' adalah sejarah penetapan hukum
Islam yang dimulai dari zaman Nabi sampai sekarang.
RUANG LINGKUP BAHASAN TARIKH
TASYRI’ & MACAM-MACAM TASYRI’
Meliputi : 1. Periodisasi hukum 2. Faktor-faktor
yang mempengaruhi dan ciri-ciri spesifikasinya 3. Fuqaha’ dan mujtahid
4. Pemikiran para mujtahid serta sistem pemikiran yang dipakai atau
sistem istinbath. Pembahasan tarikh tasyri' terbatas pada keadaan
perundang-undangan Islam dari zaman ke zaman yang dimulai dari zaman
Nabi saw sampai zaman berikutnya, yang ditinjau dari sudut pertumbuhan
perundang-undangan Islam, termasuk didalamnya hal-hal yang menghambat
dan mendukungnya serta biografi sarjana-sarjana fiqh yang banyak
mengarahkan pemikirannya dalam upaya menetapkan perundang-undangan
Islam. Kamil Musa dalam al-madkhal ila tarikh at-Tasyri'
al-Islami, mengatakan bahwa Tarikh Tasyri' tidak terbatas
pada sejarah pembentukan al Qur'an dan As Sunnah. Ia juga mencakup
pemikiran, gagasan dan ijtihad ulama pada waktu atau kurun tertentu. Macam-macam
Tasyri', Secara umum tasyri' dapat dibedakan menjadi dua yaitu
dilihat dari sudut sumbernya dan dari sudut kekuatannya. Tasyri'
dilihat dari sudut sumbernya dibentuk pada periode Rasulullah SAW
yaitu al-Qur'an dan Sunah. Sedangkan tasyri' kedua yang dilihat
dari kekuatan dan kandungannya mencakup ijtihad sahabat,
tabi'in dan ulama sesudahnya. Tasyri' tipe kedua ini dalam
pandangan Umar Sulaiman al-Asyqar dapat dibedakan menjadi dua bidang.
Pertama bidang ibadah dan kedua bidang muamalat. Dalam bidang ibadah,
fiqh dibagi menjadi beberapa topik, yaitu : Thaharah, Shalat, Zakat,
Puasa, I'tikaf, Jenazah, Haji, umrah, sumpah, nadzar, jihad, makanan,
minuman, kurban dan sembelihan. Bidang muamalat dibagi menjadi beberapa
topik yaitu perkawinan dan perceraian, ‘uqubat (hudud, qishash, dan
ta'zir), jual beli, bagi hasil (qiradl), gadai, musaqah, muzara'ah,
upah, sewa, memindahkan utang (hiwalah), syuf'ah, wakalah, pinjam
meminjam ('ariyah), barang titipan, ghashab, luqathah (barang temuan),
jaminan (kafalah), seyembara (fi'alah), perseroan (syirkah), peradilan,
waqaf, hibah, penahanan dan pemeliharaan (al-hajr), washiat dan faraid
(pembagian harta warisan).
Akan tetapi ulama Hanafiah seperti Ibnu Abidin
berbeda pendapat dalam pembagian fiqh. Dia membagi fiqh menjadi tiga
bagian yaitu ibadah, muamalat dan uqubat. Cakupan fiqh
ibadah dalam pandangan mereka shalat, zakat, puasa, haji dan jihad.
Cakupan fiqh muamalat adalah pertukaran harta seperti jual beli,
titipan, pinjam meminjam, perkawinan, mukhasamah (gugatan), saksi, hakim
dan peradilan. Sedangkan cakupan fiqh uqubat dalam pandangan ulama
Hanafiah adalah qishash, sanksi pencurian, sanksi zina, sanksi menuduh
zina dan sanksi murtad. Ulama syafi'iyah berbeda pendapat dengan mereka.
Fiqh dibedakan menjadi empat yaitu fiqh yang berhubungan dengan
kegiatan yang bersifat ukhrawi (ibadah), fiqh yang berhubungan dengan
kegiatan yang bersifat duniawi (muamalat), fiqh yang berhubungan dengan
masalah keluarga (munakahat) dan fiqh yang berhubungan penyelenggaraan
ketertiban negara (‘uqubat).
URGENSI & KEGUNAAN MEMPELAJARI TARIKH TASYRI’
1. Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat mengetahui
prinsip dan tujuan syariat Islam.
2. Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat mengetahui
kesempurnaan dan syumuliyah (integralitas) ajaran Islam terhadap
seluruh aspek kehidupan yang tercermin dalam peradaban umat yang agung
terutama di masa kejayaannya. Bahwa penerapan syariat Islam berarti
perhatian dan kepedulian negara dan masyarakat terhadap pendidikan, ilmu
pengetahuan, ekonomi, akhlaq, aqidah, hubungan sosial, sangsi hukum,
dan aspek-aspek lainnya. Dengan demikian adalah keliru jika ada persepsi
bahwa syariat Islam hanyalah berisi hukum pidana seperti qishash,
rajam, dan sejenisnya.
3. Melalui kajian
tarikh tasyri’ kita dapat menghargai usaha dan jasa para ulama, mulai
dari para sahabat Rasulullah saw hingga para imam dan murid-murid mereka
dalam mengisi khazanah ilmu dan peradaban kaum muslimin. Semua itu
mereka ambil dari cahaya kenabian yang dibawa oleh Rasulullah saw.
4. Melalui kajian ini akan tumbuh dalam diri kita
kebanggaan terhadap Syariat Islam sekaligus optimisme akan kembalinya siyadah al-syari’ah
(kepemimpinan syariat) dalam kehidupan umat di masa depan.
Untuk mengetahui KEGUNAAN
mempelajari sejarah hukum Islam, harus diketahui terlebih dahulu latar
belakang munculnya suatu hukum, baik yang didasarkan pada al-Qur'an dan
Sunah maupun tidak. Kalau tidak, maka akan melahirkan pemahaman hukum
yang cenderung ekstrim bahkan mengarah pada merasa benar sendiri. Oleh
karena itu memahami hukum Islam dengan mengetahui latar belakang
pembentukan hukumnya menjadi sangat penting agar tidak salah dalam
memahami hukum Islam itu. Misalnya, fiqh adalah hasil produk
pemikiran ulama baik secara individu maupun kolektif. Oleh karena itu
mempelajari perkembangan fiqh berarti mempelajari pemikiran ulama yang
telah melakukan ijtihad dengan segala kemampuan yang memilikinya. Dengan
demikian mempelajari sejarah hukum Islam berarti melakukan langkah awal
dalam mengkonstruksikan pemikiran ulama klasik dan langkah-langkah
ijtihadnya untuk diimplementasikan sehingga kemaslahatan manusia
senantiasa terpelihara. Di antara kegunaan mempelajari sejarah hukum
Islam adalah agar dapat melahirkan sikap hidup toleran dan untuk
mewarisi pemikiran ulama klasik dan langkah-langkah ijtihadnya agar
dapat mengembangkan gagasan-gagasannya.
SYARIAT ISLAM dan HUKUM WADH’I
(HUKUM POSITIF)
Antara syariat Islam yang bersumber dari Allah Taala dengan
hukum dan undang-undang buatan manusia sebenarnya tak dapat
dibandingkan, mengingat perbedaan antara Al-Khaliq yang Maha Sempurna
dengan makhluk yang maha lemah dan maha kurang. Keraguan terhadap
kelaikan dan keadilan syariat Islam berarti keraguan terhadap sifat
Allah Taala yang Maha Sempurna, Maha Tahu dan Maha Bijaksana, atau
berarti keinginan kuat untuk membebaskan hawa nafsu dari aturan-aturan
Ilahi. Dan kedua hal ini berarti kekufuran. Al-Syahid ‘Abdul Qadir
‘Audah dalam bukunya “Al-Tasyri’
Al-Jina-i fi Al-Islam” (Hukum Pidana dalam Islam)
menyebutkan beberapa keunggulan syariat Islam atas hukum dan
undang-undang buatan manusia, di antaranya:
1. Hukum wadh’i tidak mengandung keadilan yang hakiki
karena dibuat oleh manusia yang memiliki hawa nafsu serta kepentingan. Jiwa
Manusia tunduk dengan perasaan dan kecenderungan tertentu sehingga
produk hukum yang dihasilkan pun tidak mungkin merealisasikan keadilan
hakiki. Sedangkan syariat Islam bersumber dari Allah Yang Maha Kaya
dan tidak membutuhkan makhluk-Nya sehingga keadilannya adalah sebuah
kepastian.Dan
barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia
bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur,
maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
(Luqman: 12). Tuhanku tidak akan
salah dan tidak (pula) lupa. (Thaha: 52). Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu
(Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat
mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui. (Al-An’am: 115). Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di
antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka. (Al-Maidah: 49).
2. Manusia tidak tahu pasti apa yang akan terjadi di
masa depan, apa lagi masa depan yang jauh. Pengetahuan
manusia hanya didasari pengalaman dan keadaan yang melingkupinya saat
ini. Oleh karena itu, hukum dan peraturan yang dibuatnya hanya
mempertimbangkan ‘kekinian’ dan ‘kesinian’ serta pasti perlu diubah dan
diperbaiki di lain tempat dan waktu. Berbeda dengan syariat yang
bersumber dari Dzat yang Maha Mengetahui masa lalu, kini dan masa
depan, pasti mampu menjawab tantangan setiap tempat dan zaman.Apakah Allah yang menciptakan itu tidak
mengetahui (yang kamu tampakkan atau rahasiakan)?! Padahal Dia Maha
Halus lagi Maha Mengetahui? (Al-Mulk: 14).
3. Hukum wadh’i memiliki prinsip-prinsip yang terbatas,
diawali kemunculannya dari aturan keluarga, kemudian berkembang menjadi
aturan suku atau kabilah dan seterusnya. Dan baru
memiliki teori-teori ilmiahnya pada abad ke-19 M. Berbeda dengan
syariat Islam yang sejak masa kehidupan Rasulullah saw telah menjadi
undang-undang yang lengkap dan sempurna memenuhi segala kebutuhan
individu, keluarga, masyarakat, negara serta hubungan internasional. Di
samping itu, sejak diturunkan, Syariat Islam tidak terbatas hanya untuk
kaum atau bangsa tertentu melainkan untuk semua umat manusia sepanjang
zaman.Dan tiadalah Kami
mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
(Al-Anbiya: 107). Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk
(mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan
takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.
(Al-Maidah: 3).
4. Hukum wadh’i hanya
mengatur hubungan sesama manusia tanpa memiliki konsep aqidah tauhid
yang menghubungkan semua itu dengan Allah Taala. Sedangkan
syariat Islam dilandasi oleh tauhid dan keimanan kepada Allah dan hari
akhir yang menjadi motivasi utama ketaatan seorang hamba kepada syariat
Allah Taala. Oleh karenanya hukum wadh’i kehilangan kekuasaannya atas
jiwa manusia di mana ia hanya mengandalkan sangsi hukum semata dan ini
memberi kesempatan kepada para penjahat untuk mencari celah kelemahan
hukum dan menggunakan berbagai tipu muslihat agar lepas dari jeratan
hukum. Sedangkan syariat Islam selalu memperhatikan pembinaan
aqidah umat sebelum, ketika, dan setelah penegakan hukum-hukumnya,
sehingga sanksi hukum hanyalah salah satu faktor untuk membuat
masyarakat menjadi baik dan tertib. Motivasi spiritual, berupa
pengawasan Allah Ta’ala, rasa harap akan ridha-Nya dan takut akan
murka-Nya menjadi faktor utama ketaatan warga negara terhadap hukum. Dan barangsiapa yang membunuh seorang
mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di
dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan
azab yang besar baginya. (An-Nisa: 93)
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَلْحَنُ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَمَنْ قَضَيْتُ
لَهُ بِحَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا
بِقَوْلِهِ فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنْ النَّارِ فَلاَ يَأْخُذْهَا. البخاري ومسلم
Dari Ummu Salamah r.a. bahwa
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya kalian mengadukan perkara di
antara kalian kepadaku, boleh jadi salah satu pihak lebih pandai
berargumentasi dari pada pihak lain (sehingga aku memenangkannya). Maka
siapa yang aku menangkan perkaranya karena kepandaiannya berargumentasi
(padahal sebenarnya lawannya yang berhak dimenangkan), berarti aku telah
memberikan kepadanya bagian dari siksa neraka, maka janganlah ia
mengambilnya.” (H.R. Bukhari-Muslim).
5. Hukum wadh’i mengabaikan faktor-faktor akhlaq dan
menganggap pelanggaran hukum hanya terbatas pada hal-hal yang
membahayakan individu atau masyarakat secara langsung. Namun hukum
wadh’i tidak memberi sangsi atas perbuatan zina, misalnya, kecuali jika
ada unsur paksaan dari salah satu pihak. Hukum wadh’i tidak memberi
sangsi atas peminum minuman keras kecuali jika dilakukan di depan umum
dan mengancam keamanan orang lain. Hukum wadh’i tidak memberi sanksi
bagi pezina karena zina adalah perbuatan keji yang merusak moral,
mengganggu keutuhan rumah tangga, mengacaukan nasab keturunan, dan
berpotensi menimbulkan berbagai bahaya kesehatan serta tersebarnya
kerusakan moral. Hukum wadh’i tidak menghukum peminum arak karena arak
dan semua yang memabukkan itu merusak akal dan tubuh, merusak akhlaq,
dan menyia-nyiakan harta. Tetapi sekali lagi sangsi hukum hanya
diberlakukan jika perbuatan itu dianggap membahayakan orang lain secara
langsung dalam konteks fisik dan keamanan. Sedangkan syariat Islam
adalah syariat akhlaq yang memperhatikan kebaikan mental dan fisik
masyarakat secara umum, memperhatikan kebahagiaan dunia akhirat
sekaligus, sehingga Islam melarang dan menetapkan sangsi atas zina
karena ia adalah perbuatan keji yang diharamkan Allah Swt dengan
berbagai dampak negatifnya meskipun dilakukan suka sama suka, begitu
pula dengan minum minuman yang memabukkan. Dan janganlah kamu mendekati zina;
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan
yang buruk. (Al-Isra: 32). Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak
menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum)
khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan
menegakkan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan
itu). (Al-Maidah: 90-91)
FASE-FASE TARIKH TASYRI’
1. Fase Tasyri’: dari awal kenabian Muhammad saw hingga
wafat beliau (11 H).
2. Fase
Perkembangan Fiqh Pertama: Masa Khulafa Rasyidin, 11-40 H.
3. Fase Perkembangan Fiqh Kedua: Masa Sahabat Yunior
atau Tabi’in Senior sampai Permulaan Abad 2 H.
4. Fase Perkembangan Fiqh Ketiga: dari Permulaan Abad
ke-2 hingga Pertengahan Abad ke-4 Hijriyah.
5. Fase Perkembangan Fiqh Keempat: dari Pertengahan Abad
ke-4 hingga Jatuhnya Baghdad
tahun 656 H.
6. Fase
Perkembangan Fiqh Kelima: dari Jatuhnya Baghdad hingga kini.
Dalam menyusun sejarah pembentukan dan
pembinaan hukum (fiqh) Islam, di kalangan ulama fiqh kontemporer
terdapat beberapa macam cara. Dua diantaranya yang terkenal adalah cara
menurut Syekh Muhammad Khudari Bek (mantan dosen Universitas
Cairo) dan cara Mustafa Ahmad az-Zarqa (guru besar fiqh Islam
Universitas Amman, Yordania). Cara pertama, periodisasi
pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Syekh Muhammad Khudari Bek dalam
bukunya, Tarikh at-Tasyri’ al-Islamy (Sejarah Pembentukan Hukum
Islam). Ia membagi masa pembentukan hukum (fiqh) Islam dalam enam
periode, yaitu:
1. Periode awal, sejak
Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi rasul;
2. Periode para sahabat besar;
3. Periode sahabat kecil dan tabi’in;
4. Periode awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4
H;
5. Periode berkembangnya
mazhab dan munculnya taklid mazhab; dan
6. Periode jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh
Hulagu Khan [1217-1265]) sampai sekarang.
Cara kedua, pembentukan
hukum (fiqh) Islam oleh Mustafa Ahmad az-Zarqa dalam bukunya, al-Madkhal
al-Fiqhi al-’Amm (Pengantar Umum fiqh Islam). Ia membagi
periodisasi pembentukan dan pembinaan hukum Islam dalam tujuh periode.
Ia setuju dengan pembagian Syekh Khudari Bek sampai periode kelima,
tetapi ia membagi periode keenam menjadi dua bagian, yaitu:
1. Periode sejak pertengahan abad ke-7 H sampai
munculnya Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah
(Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada tahun 1286 H; dan
2. Periode sejak munculnya Majallah al-Ahkam
al-’Adliyyah sampai sekarang.
Periodisasi sejarah pembentukan hukum Islam
menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa adalah sebagai berikut:
PERIODE
PERTAMA
Masa
Rasulullah SAW. Pada periode ini, kekuasaan pembentukan hukum berada di
tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum Islam ketika itu adalah Al-Qur’an.
Apabila ayat Al-Qur’an tidak turun ketika ia menghadapi suatu masalah,
maka ia, dengan bimbingan Allah SWT menentukan hukum sendiri. Yang
disebut terakhir ini dinamakan sunnah Rasulullah SAW. Istilah “fiqh”
dalam pengertian yang dikemukakan ulama fiqh klasik maupun modern belum
dikenal ketika itu. ilmu dan fiqh pada masa
Rasulullah SAW mengandung pengertian yang sama, yaitu mengetahui dan
memahami dalil berupa Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Pengertian fiqh di zaman
Rasulullah SAW adalah seluruh yang dapat dipahami dari nash (ayat atau
hadits), baik yang berkaitan dengan masalah aqidah, hukum, maupun
kebudayaan. Disamping itu, fiqh pada
periode ini bersifat aktual, bukan bersifat teori. Penentuan hukum
terhadap suatu masalah baru ditentukan setelah kasus tersebut terjadi,
dan hukum yang ditentukan hanya menyangkut kasus itu. Dengan
demikian, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, pada periode Rasulullah SAW
belum muncul teori hukum seperti yang dikenal pada beberapa periode
sesudahnya. Sekalipun demikian, Rasulullah SAW telah mengemukakan
kaidah-kaidah umum dalam pembentukan hukum Islam, baik yang berasal dari
Al-Qur’an maupun dari sunnahnya sendiri.
PERIODE
KEDUA
Masa
al-Khulafa’ ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar) sampai pertengahan abad
ke-1 H. Pada zaman Rasulullah SAW para sahabat dalam menghadapi berbagai
masalah yang menyangkut hukum senantiasa bertanya kepada Rasulullah
SAW. setelah ia wafat, rujukan untuk tempat bertanya tidak ada lagi.
Oleh sebab itu, para sahabat besar melihat bahwa perlu dilakukan
ijtihad apabila hukum untuk suatu persoalan yang muncul dalam masyarakat
tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an atau sunnah Rasulullah SAW. Ditambah
lagi, bertambah luasnya wilayah kekuasaan Islam membuat persoalan hukum
semakin berkembang karena perbedaan budaya di masing-masing daerah. Dalam
keadaan seperti ini, para sahabat berupaya untuk melakukan ijtihad dan
menjawab persoalan yang dipertanyakan tersebut dengan hasil ijtihad
mereka. Ketika itu para sahabat melakukan ijtihad dengan berkumpul dan
memusyawarahkan persoalan itu. Apabila sahabat yang menghadapi persoalan
itu tidak memiliki teman musyawarah atau sendiri, maka ia melakukan
ijtihad sesuai dengan prinsip-prinsip umum yang telah ditinggalkan
Rasulullah SAW. Pengertian fiqh dalam
periode ini masih sama dengan fiqh di zaman
Rasulullah SAW, yaitu bersifat aktual, bukan teori. Artinya,
ketentuan hukum bagi suatu masalah terbatas pada kasus itu saja, tidak
merambat kepada kasus lain secara teoretis.
PERIODE
KETIGA
Pertengahan
abad ke-1 H sampai awal abad ke-2 H. Periode ini merupakan awal
pembentukan fiqh Islam. Sejak zaman Usman bin Affan (576-656),
khalifah ketiga, para sahabat sudah banyak yang bertebaran di berbagai
daerah yang ditaklukkan Islam. Masing-masing sahabat mengajarkan
Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW kepada penduduk setempat. Di Irak
dikenal sebagai pengembang hukum Islam adalah Abdullah bin Mas’ud
(Ibnu Mas’ud), Zaid bin Sabit (11 SH/611 M-45 H/665 M) dan Abdullah
bin Umar (Ibnu Umar) di Madinah dan Ibnu Abbas di Makkah.
Masing-masing sahabat ini menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai
dengan keadaan masyarakat setempat. Para
sahabat ini kemudian berhasil membina kader masing-masing yang dikenal
dengan para tabi’in. Para tabi’in yang terkenal itu adalah Sa’id
bin Musayyab (15-94 H) di Madinah, Atha bin Abi Rabah
(27-114H) di Makkah, Ibrahiman-Nakha’i (w. 76 H) di
Kufah, al-Hasan al-Basri (21 H/642 M-110H/728M) di Basra,
Makhul di Syam (Suriah) dan Tawus di Yaman. Mereka ini
kemudian menjadi guru-guru terkenal di daerah masing-masing dan menjadi
panutan untuk masyarakat setempat. Persoalan yang mereka hadapi di
daerah masing-masing berbeda sehingga muncullah hasil ijtihad yang
berbeda pula. Masing-masing ulama di daerah tersebut berupaya mengikuti
metode ijtihad sahabat yang ada di daerah mereka, sehingga muncullah
sikap fanatisme terhadap para sahabat tersebut. Dari perbedaan metode
yang dikembangkan para sahabat ini kemudian muncullah dalam fiqh Islam Madrasah
al-hadits (madrasah = aliran) dan Madrasah ar-ra’yu.
Madrasah al-hadits kemudian dikenal juga dengan sebutan Madrasah
al-Hijaz dan Madrasah al-Madinah; sedangkan Madrasah
ar-ra’yu dikenal dengan sebutan Madrasah al-Iraq dan Madrasah
al-Kufah. Kedua aliran ini menganut prinsip yang berbeda dalam
metode ijtihad. Madrasah al-Hijaz dikenal sangat kuat berpegang
pada hadits karena mereka banyak mengetahui hadits-hadits Rasulullah
SAW, di samping kasus-kasus yang mereka hadapi bersifat sederhana dan
pemecahannya tidak banyak memerlukan logika dalam berijtihad. Sedangkan Madrasah
al-Iraq dalam menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan
logika dalam berijtihad. Hal ini mereka lakukan karena hadits-hadits
Rasulullah SAW yang sampai pada mereka terbatas, sedangkan kasus-kasus
yang mereka hadapi jauh lebih berat dan beragam, baik secara kualitas
& kuantitas, dibandingkan yang dihadapi Madrasah al-Hijaz. Ulama
Hijaz berhadapan dengan suku bangsa yang memiliki budaya homogen, sedang
ulama Irak berhadapan dengan masyarakat yang relatif majemuk. Oleh
sebab itu, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, tidak mengherankan jika ulama
Irak banyak menggunakan logika dalam berijtihad.
Pada periode ketiga ini, pengertian fiqh sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan pengertian ilmu, sebagaimana yang dipahami pada periode pertama dan kedua, karena fiqh sudah menjelma sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang mengandung pengertian mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amali (praktis) dari dalil-dalilnya yang terperinci. Di samping fiqh, pada periode ketiga ini pun ushul fiqh telah matang menjadi salah satu cabang ilmu keislaman. Berbagai metode ijtihad, seperti qiyas, istihsan dan istislah, telah dikembangkan oleh ulama fiqh. Dalam perkembangannya, fiqh tidak saja membahas persoalan aktual, tetapi juga menjawab persoalan yang akan terjadi, sehingga bermunculanlah fiqh iftirâdî (fiqh berdasarkan pengandaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa datang).
Pada periode ketiga ini, pengertian fiqh sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan pengertian ilmu, sebagaimana yang dipahami pada periode pertama dan kedua, karena fiqh sudah menjelma sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang mengandung pengertian mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amali (praktis) dari dalil-dalilnya yang terperinci. Di samping fiqh, pada periode ketiga ini pun ushul fiqh telah matang menjadi salah satu cabang ilmu keislaman. Berbagai metode ijtihad, seperti qiyas, istihsan dan istislah, telah dikembangkan oleh ulama fiqh. Dalam perkembangannya, fiqh tidak saja membahas persoalan aktual, tetapi juga menjawab persoalan yang akan terjadi, sehingga bermunculanlah fiqh iftirâdî (fiqh berdasarkan pengandaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa datang).
Pada periode ketiga ini pengaruh ra’yu (ar-ra’yu;
pemikiran tanpa berpedoman kepada Al-Qur’an dan sunnah secara langsung)
dalam fiqh semakin berkembang karena ulama Madrasah al-hadits
juga mempergunakan ra’yu dalam fiqh mereka. Di samping itu, di Irak
muncul pula fiqh Syi’ah yang dalam beberapa hal berbeda dari fiqh Ahlusunnah
wal Jama’ah (imam yang empat).
PERIODE
KEEMPAT
Pertengahan
abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H. Periode ini disebut
sebagai periode gemilang karena fiqh dan ijtihad ulama semakin
berkembang. Pada periode inilah muncul berbagai mazhab, khususnya mazhab
yang empat, yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan
Mazhab Hanbali. Pertentangan antara Madrasah al-hadits dengan
Madrasah ar-ra’yu semakin menipis sehingga masing-masing pihak
mengakui peranan ra’yu dalam berijtihad, seperti yang diungkapkan oleh
Imam Muhammad Abu Zahrah, guru besar fiqh di Universitas al-Azhar,
Mesir, bahwa pertentangan ini tidak berlangsung lama, karena ternyata
kemudian masing-masing kelompok saling mempelajari kitab fiqh kelompok
lain. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, ulama dari Mazhab Hanafi
yang dikenal sebagai Ahlurra’yu (Ahlulhadits dan Ahlurra’yu),
datang ke Madinah berguru kepada Imam Malik dan mempelajari kitabnya, al-Muwaththa’
(buku hadits dan fiqh). Imam asy-Syafi’i, salah seorang tokoh
ahlulhadits, datang belajar kepada Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Imam
Abu Yusuf, tokoh ahlurra’yu, banyak mendukung pendapat ahli hadits
dengan mempergunakan hadits-hadits Rasulullah SAW. Oleh sebab itu,
menurut Imam Muhammad Abu Zahrah. kitab-kitab fiqh banyak berisi ra’yu
dan hadits. Hal ini menunjukkan adanya titik temu antara masing-masing
kelompok.
Kitab-kitab
fiqh pun mulai disusun pada periode ini, dan pemerintah pun mulai
menganut salah satu mazhab fiqh resmi negara, seperti dalam pemerintahan
Daulah Abbasiyah yang menjadikan fiqh Mazhab Hanafi sebagai pegangan
para hakim di pengadilan. Disamping sempurnanya penyusunan kitab fiqh
dalam berbagai mazhab, dalam periode ini juga disusun kitab-kitab ushul
fiqh, seperti kitab ar-Risalah yang disusun oleh Imam Syafi’i. Sebagaimana
pada periode ketiga, pada periode ini fiqh iftirâdî semakin
berkembang karena pendekatan yang dilakukan dalam fiqh tidak lagi
pendekatan aktual di kala itu, tetapi mulai bergeser pada pendekatan
teoritis. Oleh sebab itu, hukum untuk permasalahan yang mungkin akan
terjadi pun sudah ditentukan.
PERIODE
KELIMA
Pertengahan
abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Periode ini ditandai
dengan menurunnya semangat ijtihad di kalangan ulama fiqh, bahkan mereka
cukup puas dengan fiqh yang telah disusun dalam berbagai mazhab. Ulama
lebih banyak mencurahkan perhatian dalam mengomentari, memperluas atau
meringkas masalah yang ada dalam kitab fiqh mazhab masing-masing.
Lebih jauh, Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa pada periode ini
muncullah anggapan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Imam Muhammad Abu
Zahrah menyatakan beberapa penyebab yang menjadikan tertutupnya pintu
ijtihad pada periode ini, yaitu sebagai berikut:
1. Munculnya sikap ta’assub madzhab (fanatisme
mazhab imamnya) di kalangan pengikut mazhab. Ulama ketika itu merasa
lebih baik mengikuti pendapat yang ada dalam mazhab daripada mengikuti
metode yang dikembangkan imam mazhabnya untuk melakukan ijtihad;
2. Dipilihnya para hakim yang hanya bertaqlid kepada
suatu mazhab oleh pihak penguasa untuk menyelesaikan persoalan, sehingga
hukum fiqh yang diterapkan hanyalah hukum fiqh mazhabnya; sedangkan
sebelum periode ini, para hakim yang ditunjuk oleh penguasa adalah ulama
mujtahid yang tidak terikat sama sekali pada suatu mazhab; dan
3. Munculnya buku fiqh yang disusun oleh masing-masing
mazhab; hal ini pun, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, membuat umat
Islam mencukupkan diri mengikuti yang tertulis dalam buku-buku tersebut.
Sekalipun
ada mujtahid yang melakukan ijtihad ketika itu, ijtihadnya hanya
terbatas pada mazhab yang dianutnya. Di samping itu, menurut Imam
Muhammad Abu Zahrah, perkembangan pemikiran fiqh serta metode iitihad
menyebabkan banyaknya upaya tarjadi (menguatkan satu pendapat) dari
ulama dan munculnya perdebatan antarmazhab di seluruh daerah. Hal ini
pun menyebabkan masing-masing pihak/mazhab menyadari kembali kekuatan
dan kelemahan masing-masing. Akan tetapi, sebagaimana dituturkan Imam
Muhammad Abu Zahrah, perdebatan ini kadang-kadang jauh dari sikap-sikap
ilmiah.
PERIODE KEENAM
Pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya
Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah pada tahun
1286 H. Periode ini diawali dengan kelemahan semangat ijtihad dan
berkembangnya taklid serta ta’assub (fanatisme) mazhab.
Penyelesaian masalah fiqh tidak lagi mengacu pada Al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah SAW serta pertimbangan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum,
tetapi telah beralih pada sikap mempertahankan pendapat mazhab secara jumud
(konservatif). Upaya mentakhrij (mengembangkan fiqh melalui
metode yang dikembangkan imam mazhab) dan mentarjih pun sudah mulai
memudar. Ulama merasa sudah cukup dengan mempelajari sebuah kitab fiqh
dari kalangan mazhabnya, sehingga penyusunan kitab fiqh pada periode ini
pun hanya terbatas pada meringkas dan mengomentari kitab fiqh tertentu.
Di akhir periode ini pemikiran ilmiah berubah menjadi hal yang langka.
Di samping itu, keinginan penguasa pun sudah masuk ke dalam
masalah-masalah fiqh. Pada akhir periode ini dimulai upaya kodifikasi
fiqh (hukum) Islam yang seluruhnya diambilkan dari mazhab resmi
pemerintah Turki Usmani (Kerajaan Ottoman; 1300-1922), yaitu Mazhab
Hanafi, yang dikenal dengan Majallah al-Ahkam
al-’Adliyyah.
PERIODE KETUJUH
Sejak munculnya Majallah al-Ahkam
al- ‘Adliyyah sampai sekarang. Ada tiga ciri pembentukan fiqh
Islam pada periode ini, yaitu:
1. Munculnya Majallah al-Ahkam
al-’Adliyyah sebagai hukum perdata umum yang diambilkan dari fiqh
Mazhab Hanafi;
2. Berkembangnya
upaya kodifikasi hukum Islam; dan
3. Munculnya pemikiran untuk memanfaatkan berbagai
pendapat yang ada di seluruh mazhab, sesuai dengan kebutuhan zaman.
Munculnya kodifikasi hukum Islam dalam
bentuk Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah dilatarbelakangi
oleh kesulitan para hakim dalam menentukan hukum yang akan diterapkan
di pengadilan, sementara kitab-kitab fiqh muncul dari berbagai mazhab
dan sering dalam satu masalah terdapat beberapa pendapat. Memilih
pendapat terkuat dari berbagai kitab fiqh merupakan kesulitan bagi para
hakim di pengadilan, di samping memerlukan waktu yang lama. Oleh sebab
itu, pemerintah Turki Usmani berpendapat bahwa harus ada satu kitab
fiqh/hukum yang bisa dirujuk dan diterapkan di pengadilan. Untuk
mencapai tujuan ini dibentuklah sebuah panitia kodifikasi hukum perdata.
Pada tahun 1286 H panitia ini berhasil menyusun hukum perdata Turki
Usmani yang dinamai dengan Majallah al-Ahkam
al-’Adliyyah yang terdiri atas 1.851 pasal. Setelah berhasil dengan
penyusunan Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah,
para penguasa di negeri-negeri Islam yang tidak tunduk di bawah
kekuasaan Turki Usmani mulai pula menyusun kodifikasi hukum secara
terbatas, baik bidang perdata, pidana, maupun ketatanegaraan. Pada abad
ke-19 muncul berbagai pemikiran di kalangan ulama dari berbagai negara
Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari berbagai mazhab serta
menimbang dalil yang paling kuat diantara semua pendapat itu.
Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja dari mazhab yang empat, tetapi
juga dari para sahabat dan tabi’in, dengan syarat bahwa pendapat itu
lebih tepat dan sesuai. Bersumber dari berbagai pendapat atas pendapat
terkuat dari berbagai mazhab, maka pada tahun 1333 H pemerintah Turki
Usmani menyusun kitab hukum keluarga (al-Ahwal asy-Syakhsiyyah)
yang merupakan gabungan dari berbagai pendapat mazhab. Di dalam
al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat berbagai pemikiran mazhab yang
dianggap lebih sesuai diterapkan. Sejak saat itu bermunculanlah
kodifikasi hukum Islam dalam berbagai bidang hukum. Pada tahun 1920 dan
1925 pemerintah Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum keluarga
yang disaring dari pendapat yang ada dalam berbagai kitab fiqh. Dengan
demikian, seluruh pendapat dalam mazhab fiqh merupakan suatu kumpulan
hukum dan boleh dipilih untuk diterapkan di berbagai daerah sesuai
dengan kebutuhan.
Semangat
kodifikasi hukum (fiqh) Islam di berbagai negara Islam ikut didorong
oleh pengaruh hukum Barat yang mulai merambat ke berbagai dunia Islam.
Pengaruh hukum Barat ini menyadarkan ulama untuk merujuk kembali
khazanah intelektual mereka dan memilih pendapat mazhab yang tepat
diterapkan saat ini. Lebih jauh lagi, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, di
daerah yang berpenduduk mayoritas Islam, upaya penerapan hukum Islam
dengan beberapa penyesuaian dengan kondisi setempat mulai berkembang. Di
banyak negara Islam telah bermunculan hukum keluarga yang diambil dari
berbagai pendapat mazhab, seperti di Yordania, Suriah ,
Sudan , Maroko , Afghanistan ,
Turki , Iran ,
Pakistan , Malaysia dan Indonesia .
Ali Hasaballah, ahli fiqh dari Mesir, mengatakan bahwa upaya penerapan hukum Islam di berbagai neqara Islam semakin tampak. Akan tetapi, pembentukan dan pengembangan hukum Islam tersebut, menurutnya, tidak harus mengacu kepada kitab-kitab fiqh yang ada, tetapi dengan melakukan ijtihad kembali ke sumber aslinya, yaitu Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Menurutnya, ijtihad jama’i (kolektif) harus dikembangkan dengan melibatkan berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya ulama fiqh, tetapi juga ulama dari disiplin ilmu lainnya, seperti bidang kedokteran dan sosiologi. Dengan demikian, hukum fiqh menjadi lebih akomodatif jika dibandingkan dengan hukum fiqh dalam kitab berbagai mazhab. ? LH
Ali Hasaballah, ahli fiqh dari Mesir, mengatakan bahwa upaya penerapan hukum Islam di berbagai neqara Islam semakin tampak. Akan tetapi, pembentukan dan pengembangan hukum Islam tersebut, menurutnya, tidak harus mengacu kepada kitab-kitab fiqh yang ada, tetapi dengan melakukan ijtihad kembali ke sumber aslinya, yaitu Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Menurutnya, ijtihad jama’i (kolektif) harus dikembangkan dengan melibatkan berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya ulama fiqh, tetapi juga ulama dari disiplin ilmu lainnya, seperti bidang kedokteran dan sosiologi. Dengan demikian, hukum fiqh menjadi lebih akomodatif jika dibandingkan dengan hukum fiqh dalam kitab berbagai mazhab. ? LH
Muhammad Ali Sayis, Tarikh
fal-Fiqh Islamy (Beirut:Dar al-kutub al-Ilmiyah,1990)
Umar Sulaiman al-Asygar, Tarikh al-Fiqh al- Islamy,
(Amman: Dar al-Nafais,1991)