Popular Post

Popular Posts

Translate

Diberdayakan oleh Blogger.
Posted by : Agiel'chester Senin, 10 September 2012


PENGERTIAN STRES

Istilah stres dalam fisika diartikan sebagai penggunaan kekuatan yang
cukup besar terhadap suatu obyek atau sistem untuk merusaknya atau merubah
bentuknya. Herbert Benson dalam bukunya “The Relaxation Response”
memberi batasan stres sebagai “enviromental demands that require
behavioral adjustment”. Batasan ini memberikan arti yang sama kepada stres
sebagaimana artinya dalam fisika yaitu adanya suatu kekuatan di luar obyek
yang terkena kekuatan tersebut. Dalam obyek timbul ketegangan tertentu
untuk dapat mempertahankan bentuknya. Pada manusia kekuatan lingkungan
juga menimbulkan ketegangan. Untuk dapat bertahan manusia perlu
menyesuaikan perilaku dirinya. Jika tak berhasil dalam penyesuaian dirinya ia
akan berubah bentuknya atau akan hancur.
Yang kurang diperhatikan dalam batasan di atas ialah kemampuan
kognitif manusia. Manusia bukan merupakan organisasi yang secara refleks
otomatis memberikan reaksi. manusia memiliki cognitive – appraisal system
(Woolfolk & Richardson, 1979) sehingga ia memberikan arti kepada apa yang
terjadi di lingkungannya. Peritiwa atau kejadian di sekitar kita perlu kita alami
atau hayati sebagai suatu stres berdasarkan arti atau interpretasi yang kita
berikan terhadap peristiwa tersebut, bukan karena peristiwa itu sendiri.
Misalnya pelamar menghadapi wawancara seleksi. Ada pelamar yang
menghayati wawancara seleksi ini sebagai suatu stres, pelamar lain sama
sekali tak merasakannya. Yang merasakan wawancara seleksi sebagai suatu
stres memberikan arti bahwa wawancara seleksi ini dapat merubah
kehidupannya. Kalau hasil wawancara diterima, ia akhirnya akan mendapat
pekerjaan. Jadi lingkungan hanya memberikan tuntutan (yang menimbulkan
stres), jika tuntutan tersebut dipersiapkan atau dihayati sebagai tuntutan.


Tuntutan juga tidak akan menimbulkan stres, jika tuntutan tersebut
dipersepsikan sebagai tak berarti, atau jika tak ada suatu akibat apa pun.
Seorang tenaga kerja melanggar suatu peraturan tak mengalami
pelanggarannya sebagai suatu stres, karena melihat tak akan ada sanksi
terhadap perbuatannya. Selain tuntutan lingkungan harus dipersiapkan sebagai
tuntutan dan dipersepsikan akan mempunyai akibat yang merugikan,
timbulnya stres juga ditentukan oleh sejauh mana seseorang menganggap
bahwa ia dapat atau mampu memberikan jawaban yang berhasil terhadap
tuntutan tersebut. Seorang salesman yang harus mencapai sasaran penjualan
produk minimum dalam satu bulan, tak akan mengalami stres jika ia merasa
yakin ia mampu menjual produk lebih banyak dari yang ditentukan.
Sebaliknya jika ia merasa tak mampu mencapai sasaran tersebut, karena
berbagai macam hal (misalnya belum berpengalaman, atau daerah
penjualannya “kering” dan sebagainya), maka ia akan mengalami stres. Dapat
disimpulkan bahwa stres bukan terletak di luar diri kita, di lingkungan kita,
melainkan terletak dalam diri kita sendiri.
Aspek lain dari stres ialah bahwa stres membuat organisme waspada,
siaga atau aktif, menggerakkan organisme. Penggerakan ini dapat bercorak
intelektual, emosional, faali, atau perilaku. Seorang staf dari bagian penelitian
dan pengembangan yang mengalami stres karena masalah kualitas produk
yang harus ditingkatkan dapat mencapai tingkat kesiagaan intelektual yang
tinggi, lebih tinggi dari biasanya. Jika tenaga kerja merasa terancam akan kena
Pemutusan Hubungan Kerja, akan timbul reaksi emosional.
Pergerakan faali akan terjadi setiap kali orang mengalami stres. Bila
terjadi kebakaran maka orang langsung memperhatikan bentuk perilaku
penyelamatan (memadamkan kebakaran atau lari). Pergerakan yang sering
dikaitkan dengan stres adalah fight-or-flight-response (jawaban lawan – atau –
lari). Jawaban lawan-atau-lari merupakan pola terkoordinasi dari jawabanjawaban
yang terjadi jika badan menghadapi suatu keadaan darurat. Secara
umum dapat dikatakan bahwa orang dapat bereaksi menghadapi (melawan)
stres atau menghindari (meninggalkan/lari) dari stres.


Sebagai kesimpulan dari uraian di atas dapat diberikan batasan dari
Woolfolk & Richardson (1979) yaitu bahwa stres adalah suatu persepsi dari
ancaman atau dari suatu bayangan akan adanya ketidak senangan, yang
menggerakkan, menyiagakan, atau membuat aktif organisme.

JENIS-JENIS STRES

1. Stres dapat bersifat organobiologik (fisik), seperti :
a. Kelelahan fisik, seorang karyawan swasta yang kuliah lagi.
b. Rudapaksa fisik, kecelakaan yang menyebabkan kelumpuhan pada
seseorang.
c. Gizi kurang (malnutrition), seperti anak Somalia dengan tatapan mata
yang sayu.
d. Penyakit infeksi, penyakit tipus sering diikuti dengan tingkah laku
sangat gelisah.
e. Tindakan operasi, operasi payudara dapat menyebabkan stres berat
pada seorang wanita.
2. Stres juga dapat bersifat psiko-edukatif.
Ini berarti ia berasal dari alam psikologik (kejiwaan) dan alam
pendidikan (edukasi) dari individu yang bersangkutan. Walaupun jenisjenis
stres itu dapat disebutkan satu demi satu, perlu diketahui bahwa
semua jenis stres itu berpengaruh secara menyeluruh (integratif) terhadap
perilaku individu. Dengan demikian, tidak jarang dapat ditemukan suatu
“pola stres” tertentu :
a) Berbagai konflik dan frustasi yang berhubungan dengan kehidupan
urban/modern.
· Konflik menantu dan mertua yang berkelanjutan, karena berbagai
ketidakcocokan padahal tinggal bersama.
· Ibu-rumah tangga yang frustasi tidak boleh bekerja lagi padahal
berpendidikan tinggi.
b) Berbagai kondisi yang mengakibatkan sikap atau perasaan “rendah
diri” sehingga individu “benar-benar” merasa dirinya terpukul “Antara


lain dapat disebabkan kegagalan dan rasa rendah diri di mana terasa
sekali bahwa “ideal yang diidam-idamkan” tidak mungkin tercapai,
contoh: remaja putri yang tidak berhasil dalam sipenmaru.
c) Berbagai kondisi kehilangan “status” dan perasaan dirinya “cacat” atau
“habis riwayatnya”. Umpamanya bila orang benar diberhentikan dari
posisinya, benar kehilangan sebagian besar keuangannya yang
dihimpunnya selama hidupnya, benar kehilangan kawan karib/kawan
seperjuangan/istri atau suami yang sangat dicintainya. Begitu pula
seorang suami yang tertekan karena karier dan penghasilan istri
melesat tinggi dibandingkan dengan dirinya.
d) Berbagai kondisi iri hati karena dalam membandingkan diri dengan
orang lain / pihak lain (status, posisi, kekayaan, dll). Misalnya seorang
karyawan yang mempunyai kemampuan dan pendidikan lebih tinggi
hanya menduduki jabatan yang lebih rendah, sedangkan yang berada
diposisi tersebut kurang kemampuannya tetapi masih ada hubungan
keluarga dengan pimpinan kantor.
e) Berbagai kondisi kekurangan yang dihayati sebagai sesuatu cacat yang
menentukan kehidupan, umpama: penampilan fisik, jenis kelamin,
usia, intelegensi, kondisi cacat (handicap). Misalnya seorang ibu
walaupun cukup menarik tetap merasa kurang karena hidungnya yang
kurang mancung.
f) Berbagai kondisi perasaan bersalah/berdosa. Tidak jarang berhubungan
dengan kode moral etik yang dijunjung tinggi secara pribadi, tetapi
gagal dianut dalam praktek. Seseorang yang tergoda orang ketiga
sewaktu pasangannya sedang tugas belajar kemudian merasa berdosa
karena menghianati suaminya.
3. Stres sosio-kultural
a. Kehidupan modern menempatkan individu-individu dalam suatu
“kancah stres sosio-kultural” yang cukup besar. Perubahan-perubahan
sosial / ekonomi dan sosial budaya berdatangan secara bertubi-tubi.


Berbagai kondisi stres dapat dikemukakan secara lebih terperinci,
diantaranya :
- Berbagai fluktuasi ekonomi dan akibatnya (menciutnya anggaran
rumah tangga; pengangguran; kegelisahan tertentu yang menimpa
pribadi individu maupun kelompok, dan lain-lain). Bayangkan
seorang istri yang harus mengatur gaji untuk kebutuhan 1 (satu)
bulan semakin bingung karena kenaikan gaji yang diterima tidak
memadai dengan kenaikan barang kebutuhannya.
- Kesenjangan hidup keluarga
Berbagai indikator sosial kultural dapat dipergunakan untuk
menilai hal tersebut, diantaranya jumlah perceraian; konflik yang
mengakibatkan keretakan rumah tangga, berbagai kekecewaan dan
sebagainya. Pengaruh urbanisasi dan modernisasi dengan
peningkatan tuntutan dan efisiensi hidup dan finansiil / materiil
tidak jarang melandasi kehidupan keluarga. Demikian pula tidak
terpenuhinya hal-hal di bidang lain, “peranan” yang diharapkan
dijalankan oleh pihak suami/istri mertua/orang tua/anak/menantu
dan lain-lain.
- Ketidakpuasan bekerja
Dalam hubungan dengan kepuasan bekerja ternyata cukup
banyak orang menganggap hal itu hanya “sekedarnya” apa boleh
buat “merasa terpaksa karena tuntutan hidup”, sehingga mungkin
tidak lebih dari 1/4 atau 1/3 jumlah tenaga kerja benar-benar yakin
bahwa ia memperoleh kepuasan bekerja dalam menjalankan
profesi/pekerjaannya. Salah satu faktor tersusupnya secara makin
infiltratif yang disebut “teknologi modern” (menengah atau tinggi)
yang makin menggolong-golongkan individu dalam segmensegmen
kerja yang anonim tanpa kemungkinan kreativitas yang
sungguh-sungguh kecuali mengikuti petunjuk-petunjuk yang sudah


dibakukan secara ketat. Karena itu pengaruh dan fungsi kesehatan
jiwa makin terasa penting.
- Persaingan yang tajam, keras dan kadang tidak sehat
Sukses yang dicapai berbagai orang tidak selalu disebabkan
karena keunggulan-keunggulan yang obyektif. Bila latar belakang
itu diketahui oleh lingkungan luas, maka sukses “semu” yang
dicapainya itu dapat menimbulkan stres-stres tertentu. Oleh sebab
itu, mungkin suatu pendekatan yang lebih merata dan “sportif”
dapat lebih mengikat hati, dihargai dan mempesona. Walaupun
demikian, dalam masyakarat umum yang dijadikan “idola dan
idealisme” sering mereka yang sudah berhasil menggondol hadiah
utama atau posisi puncak.
- Diskriminasi
Walaupun telah dibuka kesempatan yang sama antara pria
dan wanita, kadang-kadang masih dijumpai diskriminasi dalam
karier untuk tenaga kerja wanita yang tentunya dapat menghambat
potensi individu tersebut.
- Perubahan sosial yang cepat
Perubahan cepat tidak senantiasa perlu berakibat buruk, bila
disertai dengan penyesuaian yang memadai di bidang etik dan
moral konvensional. Bila kesejajaran ini tidak harmonis, maka pola
kehidupan konvensional akan senantiasa merasa terancam dengan
berbagai akibat yang tidak diharapkan. Dalam kondisi terburuk,
maka nilai-nilai materialistik akan mendominasi sehingga nilainilai
religius – moralitik – spiritualistik terpengaruh dan melemah
karenanya. Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya “benturan
konflik”. Sebagian diungkapkan, dan untuk sebagian sekedar
disimpan dalam hati untuk ditanggung dalam alam perasaan
individu atau kelompok.
Get Free Music at www.divine-music.info
Get Free Music at www.divine-music.info

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2013 Ginks 70 blog - - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -