Popular Post

Popular Posts

Translate

Diberdayakan oleh Blogger.
Posted by : Agiel'chester Minggu, 23 September 2012


Untuk melakukan pemulihan sebuah citra, harus dimulai dengan Comprehensive Study tentang positioning citra itu sendiri. Positioning yang dimaksud adalah mengetahui pasti tingkat persepsi masyarakat secara individual dan golongan, dari berbagai dimensi dan sudut pandang.

Dari hasil observasi tersebut kita dapat membuat alat ukur untuk mengetahui faktor – faktor yang membentuk persepsi serta kendala – kendala terhadap upaya untuk merubah persepsi sehingga cukup bahan untuk melakukan re-positioning, re- engineering & re – branding dalam rangka strategi pemulihan citra tersebut.

Analisa Brand

A. Persepsi Umum

Secara umum, citra pajak saat ini mengalami penurunan tajam di mata masyarakat, dengan adanya berita – berita miring di media tentang mafia perpajakan dan kasus oknum pajak berinisial GT yang mempunyai rekening pribadi dengan jumlah yang fantastis. Hal ini makin memperburuk public trust yang ujungnya mempertebal persepsi general bahwa “begitulah” wajah dan kelakuan orang pajak.

Dibenak umum masyarakat, Urusan pajak menempati tempat yang sama dengan urusan hukum (polisi & pengadilan), rumah sakit dan debt collector. Persepsinya hampir sama: Harus dihindari sebisa mungkin. Padahal urusan pajak sama sekali berbeda, setidaknya dengan urusan polisi atau rumah sakit. Justru pajak adalah kewajiban warga negara yang harus di diutamakan, didahulukan dan diprioritaskan.

Beberapa persepsi yang mengemuka tentang pajak sangat beragam. Mulai dari yang moderat hingga yang ekstrim, mulai dari isu politik, pembangunan, kebijakan ekonomi, moral hingga dalil keagamaan. Seorang Obama pun merasa harus mengkaitan pajak dengan dalil agama kristen untuk menarik simpati rakyat Amerika dengan mengatakan: “Orang kristen yang baik, harus meringankan pajak”.

B. Merubah Benci jadi “Benar Benar Cinta”

Ketidak sukaan orang terhadap urusan pajak akhir – akhir ini timbul dari banyak faktor.  Misalnya:

1. Tak kenal maka tak sayang.
Minimnya pengetahuan tentang manfaat pungutan pajak bagi pembiayaan pembangunan.

2. Ada Dusta diantara kita.
Hilangnya kepercayaan pembayar pajak karena ekspos media tentang mafia perpajakan, penyelewengan dan penyimpangan hasil pajak.

3. Gitu aja kok repot.
Persepsi miring yang masih melekat mengenai integritas, kinerja, pelayanan dan profesionalisme pegawai pajak.
Dalam urusan pajak, seharusnya tidak ada timbul benci. Bahkan sebenarnya, dengan sosialisasi yang tepat, benci bisa berarti benar – benar cinta. Maka menjadi sebuah urgensi untuk membuat strategi komunikasi yang tepat, tangible dan komunikatif agar program – program reformasi perpajakan dan kesungguhan menjalankannya bisa diapresiasi, dihargai dan dicintai oleh masyarakat.

C. Pajak Menyatukan Hati, Membangun Negeri?

Judul diatas adalah tagline Ditjen Pajak terkini. Tagline atau yg biasa disebut slogan adalah inti sari dari sebuah visi. Slogan yang berkelas harus singkat kata tapi sarat makna. Tantangannya adalah, semakin singkat sebuah slogan, semakin jelas dan tuntas menggambarkan visi, misi, goal dan performa pemilik slogan.
Slogan yang berhasil juga bukan sekedar informasi, tetapi mencakup inspirasi. Artinya ketika sebuah slogan disebut maka slogan tersebut mampu menyentuh, menggugah bahkan menyentak pendengar. Slogan menjadi inti dari sebuah brand. Ibarat sebuah perusahaan, Ditjen Pajak mempunyai Brand, yaitu PAJAK. Persepsi  yang kita inginkan dari Pajak as a brand diterangkan dengan slogan tersebut. dan dikuatkan secara visual dengan sebuah simbol / logo.

Pertanyaan –pertanyaan penting yang harus dijawab oleh tagline diatas:

1. Pajak menyatukan hati siapa? Hati pembayar pajak? Pemungut pajak? Hati rakyat yang mana?

2. Sudah tepatkah peran dan fungsi pajak paling utama adalah menyatukan hati?

3. Sudah tepatkah instrumen pajak dianggap paling mewakili sebagai (fungsi) pemersatu?

4. Bicara hati, sudah tepatkah tagline diatas dengan perasaan sesungguhnya masyarakat tentang pajak?

5. Betulkah membangun negeri ini dengan uang pajak, dan rakyat bersatu hati menyetujui atau malah tidak mnyetujui sama sekali?

6. Seberapa dalam tagline ini dapat menggugah empati? Atau jangan-jangan justru menimbulkan antipati?

7. Seberapa jauh tagline ini dapat mempertahankan diri dari pertanyaan2 diatas, bahkan olok – olok atau plesetan sinis maupun dianggap asbun (bias)?

Pertanyaan – pertanyaan diatas boleh jadi malah berkembang ke persoalan yang lebih mendasar. Bukan lagi sekedar koreksi pemilihan kata – kata yang tepat, tapi menyentuh koreksi terhadap penetapan visi misi lembaga, yang seterusnya mengkoreksi kebijakan dan strategi pengambilan keputusan yang berujung kepada peninjauan kembali program yang telah  berjalan, program yang akan direncanakan atau target / penekanan tujuan program yang telah disepakati. Welcome to The Real Marketing Communication!

Strategi Brand

A. Re – Inventing Strategy Sebagai Sebuah Keharusan
Keinginan kuat untuk merubah persepsi dalam rangka pemulihan citra, berbanding lurus dengan sejauh mana perubahan internal yang dilakukan. Pencitraan tanpa perubahan sama saja dengan pembohongan publik. Semakin gencar dilakukan kampanye pencitraan, justru akan memperkuat persepsi lama dan menambah buruk tingkat kepercayaan publik terhadap citra dan kinerja pajak.

Saya percaya perubahan internal akan dibuat karena memang itulah satu-satunya pilihan untuk mengawali sebuah strategi komunikasi yang baru. Oleh karena itu strategi lama sudah tidak relevan, sebagus apapun itu. Sentuhan yang sama sekali baru harus tercermin dari strategi yang baru sebagai syarat program pelaksanaan pemulihan citra melalui kegiatan branding yang akan dilakukan.

B. Re – Branding Sebagai Sebuah Pilihan
Re – Branding bukan sekedar tukar nama, baju, warna, bentuk atau pernyataan. Re – Branding harus mewakili perubahan yang terjadi. Perubahan visi, misi dan strategi. Brand menjadi “Sign” untuk memandu publik menerima perubahan tersebut, kemudian melalui serangkaian aktivasi, brand yang baru diharapkan dapat menumbuhkan apresiasi, merubah persepsi dan memupuk loyalitas atau kecintaan terhadap lembaga dan person Ditjen Pajak.

Aktivasi Brand

Aktivasi Brand merupakan rangkaian kegiatan pelaksanaan strategi komunikasi yang telah disusun sedemikian rupa. Mempunyai tahapan – tahapan “building” yang berkaitan dengan tujuan komunikasi, sasaran komunikasi, alat  dan media komunikasi dan agenda kegiatan komunikasi.

Aktivasi Brand dimulai dengan uji coba kelayakan brand, yang tujuannya adalah memancing respon dan reaksi masyarakat sebagai input untuk penyusunan strategi aktivasi brand selanjutnya. Aktivasi Brand bisa dibagi kedalam beberapa tahapan. Kunci sukses aktivasi brand adalah pada kekuatan tema, ketajaman analisa marketing komunikasi, kreatifitas dan kepekaan terhadap faktor – faktor (internal – eksternal) yang berpengaruh terhadap target – target pencapaian re branding yang diinginkan.

Gagasan Fundamental Menuju Re – Branding Pajak

A. Perubahan Internal

“ Say what you mean and mean what you say…Because in the end, combination of its,
determine who you really are…That’s the BRAND should be”

Persoalan kemudian adalah persoalan komitmen. sudah tidak jamannya membuat tagline yg menjual mimpi dan membodohi. beranikah internal pajak membuat komitmen sekaligus sanksi apabila komitmen itu dilanggar? kalau swasta saja memiliki komitmen dan berani melakukan tantangan, misal “jika anda menemukan kesalahan dalam buku ini, maka kembalikan ke penerbit dan kami akan menggantinya dg buku baru”. Nah apakah  dlm hal ini pajak berani mencontoh swasta? misalkan berani mengatakan:

“jika tetangga anda putus sekolah, maka jangan lagi membayar pajak”

“Beritahu kami kalau masih ada rakyat yang kelaparan di lingkungan anda,
Maka kami akan bebaskan warga membayar pajak”

“ Jika ada yang penyelewangan, laporkan dan kami tegas bertindak”

B. Sinergi Dan Support Lintas Sektoral
Reformasi pajak seyogyanya bagian dari kebijakan reformasi seluruh komponen di pemerintahan. Pajak hanyalah salah satu instrumen diantara sekian banyak instrumen pemerintah yang berkaitan dengan penegakkan hukum dan strategi pembangunan nasional. Untuk mencermati situasi saat ini,  re branding pajak bisa saja tidak hanya mewakili lembaga, tetapi berpotensi untuk menjadi stater key sosialisasi perubahan secara nasional

C. Belajar Dari Sejarah Branding Pemerintah
Terlepas dari penilaian apapun, kami mencatat sukses story sejarah branding di Indonesia yang berkaitan dengan pemerintah, beberapa contoh diantaranya adalah:

1. Personal Brand                     : Presiden Sukarno
Tagline                                   : MERDEKA!, Revolusi, Bhineka Tunggal Ika
Maskot / Simbol                   : Garuda Pancasila.

2. Personal Brand                     : Presiden Suharto
Tagline                                   : Pembangunan, Repelita, Pelita, Swasembada Pangan
Maskot / Simbol                   : Pohon Beringin

3. Personal Brand                     : Ali Sadikin
Tagline                                   : Jakarta Kota Metropolitan
Maskot / Simbol                   : Monas, Jembatan Semanggi, Ancol

Yang ingin disampaikan disini adalah kesuksesan sebuah brand berangkat dari kelayakan / nilai jual, konsistensi aktivasi brand, diferensiasi, keunikan dan strategi komunikasi yang tepat. Dari situlah urgensi re-branding Pajak nasional harus dimulai dengan menemukan dasar pemikiran yang tepat, tema yang tepat, strategi yang tepat dan kegiatan komunikasi yang tepat.

Ditunggu keseriusan pembenahan citra pajak nasional melalui strategi Branding yang sesuai dan tangible yang dapat mewakili citra perpajakan yang baru saat ini dan dimasa yang akan datang. Sekian terimakasih.

Doddy Hidayat,
Konsultan Marcom & Usaha Kreatif
sumber: http://creativealwayson.blogspot.com/

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2013 Ginks 70 blog - - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -